April 30, 2011

Gelombang Baru Reforma Agraria Di Awal Abad ke-21



 "… pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat untuk perwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan negeri-negeri Asia Tenggara; dan bahwa hal itu, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat yang berhasil.”
    (Eric Jacoby 1961:253)


1. Pengantar

Agenda penguatan akses rakyat pada tanah dan kekayaan alam dengan mengubah struktur agraria biasanya dikenal dengan istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia). Agenda Reforma Agraria ini pada mulanya adalah agendanya gerakan rakyat yang berakar pada pengalaman penderitaan petani sebagai mayoritas rakyat (pedesaan) di bawah rezim kolonial dan paska-kolonial. Penderitaan petani yang kronis itu bersumber dari politik agrari penguasa kolonial untuk penguasaan wilayah (negara kolonial), dan perluasan sistem produksi dan ekstraksi komoditas-komoditas baru (untuk perusahaan-perusahaan kapitalis skala dunia). Keresahan agraris hingga berbentuk pemberontakan-pemberontakan lokal dapat dipadamkan dengan operasi-operasi represif singkat, peperangan panjang maupun pengendalian melalui organisasi pemerintahan kolonial yang baru, termasuk dengan bentuk penguasaan tidak langsung (indirect rule) melalui elit-elit feodal pribumi setempat.

Merupakan kenyataan historis di pedesaan Dunia Ketiga dimana saja bahwa sebagian golongan petani mengambil jalan menentang dan menantang hadir dan bekerjanya kuasa-kuasa baru yang menindas mereka. Pada intinya, gerakan-gerakan petani yang hadir baik dahulu maupun saat ini adalah tantangan-tantangan yang relatif berkelanjutan atas kekuasaan yang menindas golongan-golongan tertentu rakyat di pedesaan. Tantangan-tantangan yang mengacaukan dan terus-menerus (disruptive and continuous challanges) itu pada mulanya merupakan suatu tanggapan kolektif atas merosotnya kondisi hidup akibat penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan pihak pemegang kuasa-kuasa ekonomi-politik. Tanggapan itu bukan hanya terhadap masalah lokal, seperti dinyatakan oleh studi Wolf lebih 30 tahun yang lalu dalam buku klasiknya Peasant War in The Twentieth Century (Wolf 1971:273):

    … pemberontakan-pemberontakan petani abad kedua puluh tak lagi sederhana merespon masalah-masalah lokal, jika memang benar-benar pernah ada. Tetapi hal itu merupakan reaksi-reaksi yang langsung pada keguncangan sosial yang mengenainya, yang digerakkan oleh perubahan sosial yang lebih besar lagi. Penyebaran pasar telah membongkar manusia dari akarnya, dan mengguncang mereka agar lepas dari hubungan-hubungan sosial dari mana mereka dilahirkan. Industrialisasi dan perluasan komunikasi telah memunculkan tandan sosial baru, sampai sekarang tak percaya pada posisi-posisi dan kepentingan sosial mereka sendiri, tetapi dipaksa oleh ketidakseimbangan kehidupan mereka untuk mencari suatu tambahan baru. Otoritas politik tradisional terkikis atau ambruk; para pesaing baru untuk kekuasaan sedang mencari para pemilih baru untuk dimasukkan ke dalam arena politik yang kosong. Dengan demikian ketika pembela pro-petani menerangi obor pemberontakan, bangunan besar masyarakat telah membara dan siap mengambil api. Ketika perang berakhir, bangunan itu tak akan sama seperti sebelumnya.



Cerita sejarah penindasan atas suatu golongan-golongan rakyat pedesaan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin bukanlah cerita baru, terutama bagi mereka yang meneliti, menulis, membaca dan mengajar sejarah. Tema penindasan dan perlawanan ini telah mengisi wajah pedesaan yang merentang dari dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukkan dan kehilangan kuasanya di pedesaan, para penguasa negara kolonial dan kapitalis kolonial telah menjadi sumber dari penindasan dan perlawanan itu. Isi dan cara pemerintahan kolonial dan feodal menjalankan politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, dan akibat-akibat khusus dari padanya benar-benar telah mempengaruhi pemikiran para pemimpin pejuang kemerdekaan banyak negara di Dunia Ketiga. Untuk Indonesia sendiri, ketetapan “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia … dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” telah mendasari “perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang) berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari cengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.”

Sesungguhnya di daerah-daerah jajahan, struktur agraria yang tidak adil dan perjuangan konkrit rakyat tani untuk keadilan agraria merupakan basis sosial dari aspirasi kebangsaan. Tak heran bila seorang peneliti agraria ternama tahun 1960-an, Eric Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelas bahwa sesungguhnya struktur agraria yang merusak lah yang memberi jalan bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik (selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui perjuangan tanah.”
Secara berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya banyak elit negara paska-kolonial, termasuk presiden Soekarno, benar-benar dipengaruhi oleh naskah resmi FAO (Food and Agricultural Organization) Land Reform - Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development yang dikeluarkan pada 1951. Apa yang dilakukan oleh FAO kemudian beresonansi dengan cara bagaimana negara-negara paska-kolonial menjadikan Reforma Agraria bagian dari agenda bangsanya hingga pada puncaknya tahun 1979 pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD), dimana Indonesia mengirim delegasi yang sangat besar (Wiradi 1999). Konferensi dunia yang menghasilkan Peasant Charter (Piagam Petani) itu sayangnya menjadi “upacara kematian” Reforma Agraria, yang digerus oleh model-model Pembangunan Pedesaan (termasuk pertanian) yang baru, seperti revolusi hijau, agroindustri/agribisnis, produksi komoditi untuk ekspor, dan lainnya. Secara gamblang, setelah mengevaluasi praktek pembangunan pertanian di 26 (dua puluh enam) negara, John Powelson and Richard Stock (1987) menyimpulkan bahwa petani telah dikhianati oleh banyak elit negara-negara paska kolonial. Dalam buku yang berjudul The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World itu, kedua peneliti itu sampai pada kesimpulan yang kelam bahwa setelah landreform dijalankan, program-program selanjutnya yang dijalankan rezim/pemerintahan baik yang Kiri maupun Kanan, “telah dan terus menyengsarakan petani daripada menolong mereka”. Lebih penting lagi, setelah kedua peneliti ini menggolongkan dua jenis landreform berdasar (a) kekuatan pemerintahan yang budiman, dan (b) kekuatan petani, mereka menegaskan, bahwa hanya pada kondisi dimana petani bersandar pada kekuatan diri sendiri lah mereka dapat melanjutkan menikmati hasil-hasil land reform yang dijalankan.

2. Kondisi-kondisi global penghidup tiga gelombang reformas agraria

Dalam literatur teori akademik mengenai gerakan sosial telah umum dipahami bahwa kontraksi dalam struktur kesempatan politik (political opportunity structure) di tubuh negara adalah penanggung jawab utama bagi mobilisasi suatu atau sejumlah kelompok gerakan (protes) sosial untuk mengedepankan klaim-klaim baru dan kerangka baru penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya publik yang dipertentangkan, membentuk kembali aliansi kekuatan dalam masyarakat. Apa yang secara akademik dikenal dengan political opportunity structure theories (POST) ini pada mulanya dikembangkan oleh Charles Tilly (1978) dan kemudian secara lebih solid dikembangkan oleh Mc Adam (1982) dan Herbert, Kitschelt (1986). Sidney Tarrow, merumuskan struktur kesempatan politik sebagai “consistent, but not necessarily formal, permanent, or national - dimensions of the political environment which either encourage or discourage people from using collective action” (Tarrow 1994:18).

Dalam usaha memperjelas konsep itu, McAdam (1996) mendaftar empat ciri utama dari padanya yakni, keterbukaan relatif dari sistem politik yang melembaga, kestabilan relatif dari ikatan-ikatan para elit yang menyokong suatu kebijakan tertentu, ketersediaan persekutuan-persekutuan baru yang berpengaruh, dan kapasitas negara untuk meredam mobilisasi kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat. Struktur kesempatan politik ini dapat dipandang sebagai yang bertanggung jawab untuk peningkatan atau penurunan resiko atau keuntungan dari berbagai upaya mobilisasi kekuatan sosial di masyarakat, yang bekerja melalui persepsi para pemimpin kekuatan itu mengenai derajat ancaman dan keuntungan yang berhubungan dengan putusan kebijakan publik, kesempatan berhasilnya mobilisasi, dan bagaimana otoritas negara memfasilitasi atau meredam mobilisasi tersebut (Tilly 1978). Tonggak selanjutnya dari pendekatan ini dimantapkan oleh trio pendekar the political process approach in social movement theory, yakni Charles Tilly, Mc Adam, dan Sidney Tarrow (2001). Perkembangan dari teorisasi ini kemudian telah menjadi suatu aliran pemikiran yang sangat berpengaruh, terutama dalam studi-studi gerakan sosial berbahasa Inggris (Kriesi 1995, 2004; Meyer 2004, Meyer and Minkoff 2004).

Faktor kesempatan politik yang terbuka inilah yang memungkinkan diangkutnya agenda Reforma Agraria ke dalam kebijakan publik di tingkat nasional dan global. Karya tulis Saturnino M Borras Jr., Christóbal Kay and A. Haroon Akram Lodhi, 2007, “Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues,” cukup memadai untuk memahami perbedaan kondisi yang menghidupkan Reforma Agraria, pra 1980-an dibandingkan dengan setelah 1990an. Tabel 1 berikut ini adalah matriks yang menyederhanakan analisis dari dari tiga sarjana dari Institute of Social Studies (ISS), the Hague, tersebut (Borras, Kay, and Akram-Lodhi 2007:16-17).

Setelah meredup di akhir 1990-an, di awal abad 21 ini agenda Reforma Agraria telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan berbagai badan internasional, dan sejumlah negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ragam penjelasan mengenai kondisi yang menjadi alas kehadiran agenda reforma agraria di tingkat global itu telah secara detil dan terpisah-pisah hal itu telah dikemukakan oleh Putzel (2000), Ghimire (2001), FAO (2002), Prosterman and Hanstaad (2001), El-Ghonemy (2003), Moyo, Sam and Yeros (2005), Courville and Patel (2006), Quan (2006) Borras, et.al. (2007), Cousins (2007), and El-Ghonemy (2007).

Seperti pada masa kolonial, agenda Reforma Agraria ini pun bermula dari gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang menyuarakan penderitaan petani yang kronis. Namun, kita tidak bisa memahami karakter gerakan-gerakan rakyat pedesaan saat ini dengan menggunakan kerangka sebagaimana kita memahami gerakan-gerakan di masa kolonial. Penyelidikan atas aksi-aksi kolektif gerakan sosial saat ini telah sampai pada kesimpulan bahwa karakter umum dari gerakan sosial pedesaan dewasa ini berbeda nyata dengan gerakan-gerakan yang dilakukan dan berkembang pada masa kolonial, maupun di masa ketika land reform berjaya di tahun 1960an-1970an. Petras (1998) menuliskan bahwa ”Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan terdahulu, yang juga tidak cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak ke mana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster menguatkan, ”Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakan-gerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya” (Webster, 2004:2).

Dalam buku yang saya tulis sendiri, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Fauzi 2005a) dan karya-karya sarjana agraria dari berbagai negara yang saya sunting dalam buku Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Fauzi 2005b), telah diurai secara detil ciri-ciri baru gerakan pedesaan di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kedua buku tersebut diniatkan untuk mengajak pembaca memperbaiki cara memahami gerakan-gerakan rakyat pedesaan Dunia Ketiga, yakni MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah) di Brazil; EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista) di Mexico; FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo atau federasi organisasi masyarakat adat Napo) di Ekuador; LPM (Landless People’s Movement atau Gerakan Rakyat Tak Bertanah) di Afrika Selatan; gerakan-gerakan pendudukan tanah atau land occupation movements di Zimbabwe; NBA (Narmada Bachao Andolan atau Gerakan Menyelamatkan Narmada) di India; AOP (The Assembly of the Poor atau Dewan Kaum Miskin) di Muangthai; UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan atau yang secara tekstual berarti Koordinasi Nasional Organisasi-organisasi Rakyat Pedesaan Lokal Otonom) di Filipina, dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia.

Dari seluruh analisis terhadap dari masing-masing gerakan dan perbandingan antar gerakan, serta rujukan pada pendapat-pendapat para sarjana lainnya, penulis menemukan keragaman pelaku utama dan pendukung dan keragaman jenis aksi kolektif yang diandalkan masing-masing gerakan. Aksi-aksi kolektif dari para pelaku utama dan pendukung dari masing-masing gerakan ini dibentuk dan bekerja berhadapan dengan kekhususan bangunan kekuasaan ekonomi dan politik yang dihadapi gerakan, objek sumber kekuasaan yang dipertarungkan, lingkungan agraria yang dihadapi, kekhususan kesempatan politik yang dimanfaatkan, termasuk arena-arena pertarungan yang dimasukinya.

Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagi rangkai aksi kolektif yang dilakukan oleh organisasi-organisasi gerakan sosial pedesaan. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi struktur kesempatan politik yang tertentu pula. Meski struktur kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu dapat berbeda-beda, namun tersedia suatu kondisi perubahan politik nasional (yang juga beresonansi dengan perubahan politik internasional) yang membuka ruang luas bagi gerakan pedesaan. Misalnya, tumbangnya rezim apartheid (seperti di Afrika Selatan), transisi dari rezim otoritarian atau komunis (seperti yang terjadi di Indonesia, Albania) dan kebijakan politik multi-partai dimana berbagai partai politik baru dan lama (seperti di Indonesia) membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas penduduk pedesaan. Hampir semua amatan atas gerakan-gerakan rakyat pedesaan menunjukkan bahwa perubahan politik nasional mempengaruhi bagaimana susunan kekuasaan di pedesaan dipertarungkan, khususnya pertarungan kekuasaan yang berbasis pada penguasaan tanah.

Seperti dinyatakan oleh Jonathan Fox (1990:1) bahwa “distribusi kekuasan pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang ikut membentuk dan dibentuk oleh politik nasional”. Dengan adanya perubahan susunan kekuasaan di pedesaan ini, tentu gerakan-gerakan rakyat pedesaan ikut terpengaruh dan mempengaruhinya pula. Oleh perubahan kekuasaan ini, Fox mengemukakan istilah “demokratisasi pedesaan” (rural democratisation) untuk menunjukkan bagaimana pencarian keseimbangan baru terjadi dalam interaksi antara masyarakat sipil dan negara. “Dalam masyarakat sipil, hal ini menyangkut kebangkitan dan konsolidasi lembaga-lembaga sosial dan politik yang sanggup mengemban kepentingan-kepentingan pedesaan berhadap-hadapan dengan (vis-a-vis) negara. Beberapa bisa saja secara khusus bersifat pedesaan, seperti organisasi-organisasi petani, sementara yang lain dapat berupa keorganisasian yang nasional sifatnya, seperti partai-partai politik, yang mengembangkan pengaruhnya sampai pedesaan. Bagi negara, demokratisasi pedesaan membutuhkan adanya penguasa yang efektif didukung oleh mayoritas, juga akuntabilitasnya secara formal maupun informal terhadap warga-warga yang tinggal di pedesaan.” (Fox 1990:1)

Faktor umum yang membuka kesempatan politik untuk reforma Agraria adalah kegagalan global teori dan praktek neoliberalisme yang berlangsung sepanjang 25 tahun, semenjak dilancarkannya apa yang diistilahkan dengan SAP (Structural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yang khusus pada sektor pertanian. Apa yang dimaksud dengan SAP itu adalah serangkai paket kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dimulai tahun 1980-an untuk menghadapi krisis hutang yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Paket kebijakan itu dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural. Sebagaimana diurai Rita Abrahamsen, ”Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program-program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik baik terhadap barang-barang impor maupun ekspor. Meskipun program-program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program ini umumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi, mengubah sumber daya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan” (Abrahamsen, 2003:65-66). Akibat dari SAP ini adalah liberalisasi ekonomi, dimana peran negara secara drastis telah direduksi melalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.

Globalisasi neoliberal tidak bisa menghasilkan pemerataan (equality) tapi justru memperbesar ketimpangan (inequality) itu. Kebijakan-kebijakan neoliberal itu bersenjatakan apa yang sekarang ini diteorisasi oleh Akram-Lodhi (2007) sebagai neoliberal enclosure dengan ragam variasi substansi dan penampakannya. Yang dimaksud dengan neoliberal enclosure dapat dibedakan dengan bentuk-bentuk enclosure yang klasik seperti perampasan tanah dan kekayaan alam para petani untuk badan-badan usaha raksasa milik negara atau swasta, atau proses “paksa” petani menjadi tenaga kerja bebas buruh upahan, yaitu “untuk memperdalam dan memperkokoh hubungan kepemilikan kapitalistik dengan mengurangi secara relatif kekuasaan rakyat miskin pedesaan”. Hal ini dicapai melalui penggunaan proses-proses pasar yang dikombinasi dengan intervensi pemerintah. Dalam arti ini, neoliberal enclosure adalah hasil-samping dari proses akumulasi kekayaan yang menggunakan rasionalitas ekonomi. Namun pada tingkat permulaan, neoliberal enclosure mensyaratkan pengukuhan status kepemilikan pribadi atas tanah dan kekayaan alam, lalu kemudian kekayaan modal yang diperoleh dari usaha-usaha produksi maupun perdagangan. Neoliberal enclosure itu telah menguatkan struktur agraria yang ‘terbelah dua’ (bifurcated agrarian structure): Satu sub-sektor berorientasi ekspor, modal yang lebih intensif dan berhubungan dengan TNC (Transnasional Corporation), namun kurang dalam integrasi hubungan hulu-hilir, dan satu sub-sektor lainnya adalah ragam produksi untuk kebutuhan domestik, lebih padat-karya, hubungan hulu-hilir lebih kuat, namun tidak homogen (Akram-Lodhi, 2007:1446).

Neoliberal enclosure ini menguatkan arus penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and depeasantization processes). Setelah meneliti perubahan agraria di Asia, Afrika dan Amerika Latin di akhir abad 20, Bryceson, dkk. menyimpulkan “penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) pada kehidupan petani” (Bryceson et al 2000:29). Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala “meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338). Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin – yang dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” – penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persen di tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golongan yang menganggap petani adalah kenyataan masa lampau dan sedang dalam proses melenyap, seperti yang ditulis dalam karya klasiknya Age of Extremes bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang memutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani (yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui) (Hobsbawm,1994: 288-9, 415).

3. Kebangkitan studi-studi yang mempengaruhi bangkitnya gelombang baru reforma agraria

Seiring dengan bangkitnya agenda Reforma Agraria dewasa ini, pokok bahasan seputar akses pada tanah kembali menggeliat dalam naskah-naskah akademik berupa buku maupun artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sekedar sebagai ilustrasi yang belum lengkap, di awal tahun 2001, terbit naskah di bawah bendera The UN World Institute for Development Economics Research (WIDER) berjudul Access to Land, Rural Poverty and Public Action (de Janvry, et al., 2001). Buku ini mendiskusikan panjang lebar seluk-beluk betapa pentingnya akses atas tanah, kebijakan land reform dan aksi-aksi kolektif untuk memerangi kemiskinan di pedesaan. Buku ini juga menghadirkan evaluasi terhadap state-led land reform dan untuk sebagian menghadirkan grassroot-initiated land reform. Namun, pada intinya buku itu adalah promosi mengenai tak tergantikannya peran pasar dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap tanah, dan perlunya pemerintah mengadopsi market-assisted land reform. Promosi pendekatan pasar ini dielaborasi dalam buku Land Policies for Growth and Poverty Reduction: World Bank Policy Research Report. Walaupun buku ini dinyatakan sebagai karya Klaus Deininger (2003), namun lebih jauh buku ini merupakan buku pegangan The World Bank’s Thematic Group on Land Policy and Administration (sering disebut secara singkat sebagai The Land Thematic Group), yang mengarahkan proyek-proyek perubahan kebijakan, manajemen dan administrasi pertanahannya Bank Dunia, serta badan-badan pembangunan internasional lainnya.

Pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) yang mengeluarkan IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty. IFAD secara eksplisit menghidupkan kembali keunggulan usaha pertanian skala kecil, dan redistribusi tanah skala besar dalam strategi mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Yang memimpin penulis laporan IFAD tersebut adalah Michael Lipton, yang telah terkenal sebagai tokoh pendekatan neo-populis dalam pembangunan pedesaan (Lipton 1977) dan juga khususnya berjasa dalam teorisasi land reform ketika agenda ini sedang jaya-jayanya di badan-badan pembangunan internasional dan negara-negara berkembang di akhir tahun 1970an (Lipton 1974). Laporan tersebut segera dikuatkan oleh artikel panjang dari Griffin, Khan and Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land” dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3), yang kembali menghidupkan argumen tentang kebijakan dan praktek urban bias yang memelihara kemiskinan, dan mengusulkan pentingnya land reform sebagai strategi memerangi urban bias policies itu.

Sebagai tanggapan atas artikel ini, dan secara tidak langsung juga pada buku Access to Land di atas, Bernstein (2002) “Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2002 No. 2(4) mengedepankan suatu kritik yang tajam baik terhadap pendekatan pasar maupun neo-populis. Selanjutnya, Byres (2004) menyunting artikel-artikel yang mengelaborasi lebih lanjut pandangan kritis ini dalam Journal of Agrarian Change 2004 No. 4 (1&2) dan mengritik argumen utama pendekatan neo-populis dengan basis contoh-contoh empiris, yang kemudian ditanggapi balik oleh Griffin, K., A.R. Khan and A. Ickowitz (2004) dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism” dalam Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3).

Seiring dengan lingkar debat akademik dan kebijakan lembaga pembangunan internasional di atas, UNRISD (United Nation Research Institute for Social Development) telah mendukung suatu kelompok yang membawa nama masyarakat sipil, The Popular Coalition to Eradicate Hunger and Poverty untuk membuat serangkaian riset pendahuluan, pengembangan jaringan yang kemudian bermuara pada pembuatan buku bunga rampai tentang inisiatif gerakan sosial, ornop, dan negara dalam menghidupkan berbagai agenda land reform di Asia, Afrika dan Amerika Latin (Ghimire 2001a). UNRISD kemudian menyelenggarakan rangkaian penelitian independen di bawah tema “Grassroots Movements and Initiatives for Land Reform” yang keseluruhan naskahnya kemudian ditebitkan dalam buku berjudul Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform in Developing Countries (Ghimire, 2001b). Studi lanjutannya dilakukan UNRISD dengan tema “Civil Society Strategies and Movement for Rural Asset Redistribution and Improved Livelihood” menyambut maraknya gerakan sosial pedesaan menuntut redistribusi dan dan kelompok-kelompok masyarakat sipil bekerja menghadapi ekspansi ideologi dan program kebijakan pertanahan pro-pasar dari Bank Dunia dan badan-badan pembangunan internasional lainnya. Naskah-naskah hasil riset itu diterbitkan dalam buku Civil Society and The Market Question: Dynamics of Rural Development and Popular Mobilization (Ghimire, 2005), Roma: UNRISD dan ITDC. Seiring dengan bangkitnya tema gerakan perjuangan tanah dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di tahun 2002, Moyo dan Yeros mengkoordinasi scholar-cum-activists untuk menulis analisa mengenai gerakan-gerakan sosial pedesaan yang mengandalkan okupasi tanah sebagai taktik utamanya. Usaha ini kemudian dibukukan di bawah judul Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America (Moyo dan Yeros, 2005). Setahun setelah buku itu, suatu lingkaran aktivis yang tergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatan aktivis gerakan sosial dalam Kampanye Global tentang Pembaruan Agraria menerbitkan buku yang berjudul Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform (Rosset, Patel, dan Courville, 2006). Buku ini mengritik keras pendekatan pro-pasar dan mengedepankan kerangka khusus “Agrarian Reform and Food Sovereignity”.

Kritik pada pendekatan pro-pasar juga dilakukan oleh sejumlah sarjana yang memiliki penelitian mendalam di berbagai negara Asia, Amerika Latin dan Afrika. Sarjana-sarjana yang dikoordinir oleh Institute of Social Studies (ISS) The Hague menyelenggarakan penelitian bertema “Land Policies, Poverty and Public Action” yang disponsori oleh Bureau of Development Policy - UNDP (the United Nations Development Programme). Sepuluh pengalaman implementasi land reform kontemporer diterliti dan disajikan secara analitis dan komparatif, yakni Armenia, Bolivia, Brazil, Egypt, Ethiopia, Namibia, The Philippines, Uzbekistan, Vietnam, dan Zimbabwe. Salah satu muara kebijakan dari penelitian ini ada suatu Policy Brief No. 2/Nov/2006 “The Unresolved Land Reform Debate: Beyond State-Led and Market-Led Model” (Borras and McKinley, 2006). Mereka kemudian menerbitkan hasilnya dalam buku berjudul Land, Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries (Akram-Lodhi, Borras Jr., dan Kay, 2007). Seiring dengan proses pembuatan buku ini, dua dari kelompok sarjana dari Institute of Social Studies (ISS), the Hague ini akan pula yang mengeluarkan buku suntingan berjudul Peasant Livelihoods, Rural Transformation and the Agrarian Question (Akram-Lodhi and Kay 2007).

Untuk melihat dinamika pasang-surut dari kebijakan land reform di dunia semenjak masa keemasa Reforma Agraria di tahun 1960-an, kita tidak bisa untuk mengabaikan jurnal ternama FAO (Food and Agricultural Organization) Land Reform Land Settlement and Cooperatives, yang terbit reguler tiap tahun semenjak tahun 1963. Jurnal yang telah berumur 45 (empat puluh lima) tahun itu sejak awal diterbitkan sebagai suatu medium untuk diseminasi informasi dan berbagai pandangan tentang land reform and topik-topik yang berhubungan, dan diisi oleh ahli-ahli dari badan-badan PBB, pemerintah-pemerintah anggota FAO, maupun ahli dar badan-badan independen. M. Riad El-Ghonemy, salah seorang redaktur awal awal jurnal ini, dan kemudian juga menjadi pekerja intelektual di FAO untuk jangka waktu yang panjang hingga saat ini, menulis suatu buku baru berjudul The Crisis of Rural Poverty and Hunger: An Essay on the Complementarity between Market- and Government-Led Land Reform for its Resolution (El-Ghonemy 2007). Buku yang mencoba mendamaikan dan mencari keseimbangan antara kekuatan pasar dan pemerintah dalam menjalankan land reform ini pun mengisi daftar studi-studi terbaru itu tentunya dapat menjadi sumber bagi mereka yang hendak memiliki pemahaman akademik mengenai kebangkitan agenda reforma agraria itu.

Di salah satu ujung dari kajian atas pengalaman-pengalaman pelaksanaan land reform di berbagai tempat dengan berbagai pelaku, biasanya disusunkan kategori/pengelompokan berbagai tipe Reforma Agraria. Berdasarkan cara bagaimana land reform itu dijalankan, dibedakan tiga tipe ideal, yakni: State-Led Land Reform, Market-Led Land Reform, dan Peasant-Led Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley (2006) mengemukakan model keempat yang merupakan suatu upaya mewujudkan Pro-Poor Landreform yang realistis dengan 4 (empat) pilar pokok (lihat Tabel 2), yakni:

(i) Pengorganisasian rakyat miskin pedesaan yang otonom; Organisasi ini dibentuk dari kebutuhan dan perjuangan rakyat miskin sendiri, jatuh-bangun menempa dan membangun kepemimpinannya yang mandiri. Mereka harus lah otonom dari kekuatan negara dan pengusaha tanah luas dan mewakili kepentingan strategi dan program buruh tani, petani gurem, masyarakat adat maupun kaum miskin dan perempuan pedesaan serta mampu memenuhi kebutuhan praktis mereka.

(ii) Koalisi politik yang luas dan pro-reforma; Koalisi ini harus kuat, misalnya, untuk menolak berkompromi dengan faksi-faksi politik yang mewakili kepentingan penguasa tanah luas, pengusaha-pengusaha besar industri agrobisnis yang berorientasi ekspor, dan memegang teguh kepentingan strategis dari buruh tani, petani gurem, masyarakat adat maupun kaum miskin dan perempuan pedesaan.

(iii) Investasi publik, kredit pemerintah dan asistensi teknis yang besar; Koalisi di atas harus lah sampai pada keberhasilan mengalokasikan bajet negara dalam jumlah yang substansial. Hal inilah yang akan mampu menciptakan kondisi-kondisi perbaikan produktivitas dan kualitas lingkungan yang menjamin keberlangsungan nilai guna dari tanah yang diredistribusikan.

(iv) Intervensi mikroekonomi maupun wilayah untuk meningkatkan produktivitas dan perbaikan lingkungan itu tidak akan berhasil berkelanjutan tanpa pilar yang keempat, yakni strategi pembangunan pro-poor yang berorientasi pertumbuhan (pro-poor Growth-oriented Development Strategy). Pilar keempat ini memang berhadapan dengan arus besar globalisasi neoliberal, sehingga mau tidak mau elit negara harus berfungsi menjalankan kewajibannya untuk menyediakan berbagai fasilitas yang memproteksi orang miskin pedesaan dari ancaman neoliberal enclosure.

4. Penutup: menengok sekelebat ke cara reforma agraria kembali ke pentas kebijakan nasional saat ini

Globalisasi dan neoliberalisme di Indonesia telah berpengaruh begitu mendalam dalam masyarakat pedesaan Indonesia sebagaimana telah diurai detil oleh banyak penulis (Cf.: Fauzi, 2001; Wibowo dan Wahono 2003, Setiawan, 2003; Khudori, 2004; Ya’kub, 2004, Herry-Priyono 2006). Seperti juga gerakan-gerakan sosial umumnya di Dunia Ketiga, berbagai organisasi gerakan rakyat pedesaan di Indonesia telah menjadikan Reforma Agraria sebagai agenda tandingan atas globalisasi neoliberal itu.

Agenda “Reforma Agraria” kembali bergeliat dimulai sejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana serta aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, serta menghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejim Orde Baru (Kasim dan Suhendar, 1996; Bachriadi, et.al., 1997; Suhendar dan Winarni, 1997; Wiradi, 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yang dimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnya Harman, et.al., 1995; Fauzi and Fidro, 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agraria yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saat mengiringi berakhirnya kekuasaan rezim Soeharto di tahun 1998. Andil dari organisasi-organisasi gerakan agraria lokal maupun ornop-ornop nasional pendukungnya sangat lah besar dalam mengangkat agenda Reforma Agraria saat itu.

Keterbukaan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasi massa hingga pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal sampai nasional, yang di antaranya ditulangpunggungi oleh aktivis-aktivis agraria. Ketika kesempatan politik terbuka dalam sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promotor reforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey, 2002; 2003; Bachriadi, 2002; Wiradi, 2002; Lucas and Warren, 2003; serta Ya’kub, 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi, 2002; Soemardjono, 2002; dan 2006; serta Winoto, 2007).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengimplementasi TAP MPR ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks transitional justice untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Ujung dari usaha ini adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan kemudian juga pada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (Bachriadi, 2004a; dan Tim kerja KNuPKA, 2004). Namun kemudian jawaban datang dari pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di tahun 2005 yang menolak pembentukannya dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria.

Pimpinan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) pada periode 2001-2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA) dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono, 2002, 2006, 2008). Hal ini menangguk pro dan kontra yang berkepanjangan, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, seperti halnya berbagai usulan revisi UUPA sebelumnya (untuk sketsa mengenai hal ini lihat Bagan 1 Konstelasi Upaya-upaya untuk Mengubah UUPA 1960, yang bersumber dari Bachriadi 2004b, 2006, 2007). Aliran energi yang besar dan kontroversi ini diakhiri dengan tercapai kesepakatan antara pimpinan BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPRRI pada Rapat Konsultasi tanggal 29 Januari 2007 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA (Sinar Harapan, 30 Januari 2007). Selanjutnya, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto, 2006).

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN RI bersama Menteri Kehutanan RI dan Menteri Pertanian RI, dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya, untuk sektor kehutanan lihat Contreras-Hermosilla and Fay, 2005; Kartodirdjo, 2006; sedangkan untuk sektor pertanian lihat Mayrowani, et.al., 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agraria belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa kita belum menemukan cara bagaimana Reforma Agraria diintegrasikan ke kedua departemen itu. Bahkan inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi yang koersif, pembolehan investasi di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan Departemen Pertanian, mulai dari revitalisasi perkebunan, perkebunan untuk bahan bakar nabati hingga upaya pelestarian lahan pertanian sawah abadi, belum dapat beresonansi dengan apa yang dikerjakan BPN dengan PPAN itu. Perlu penelitian dan penilaian yang seksama apakah macam-macam inisiatif itu membentuk apa yang tergolong menurut Feder (1970) sebagai counterreform.

Perlu penyelidikan yang mendalam dan seksama bagaimana dinamika perjuangan agraria dan implementasi bentuk-bentuk program pembaruan agraria pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah agraria (agrarian questions) dewasa ini, dengan terutama meletakkannya dalam konteks yang luas yakni (i) berbagai bentuk kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan agraria yang kronis, yang tampak berupa kekurangan bahan makanan dan nutrisi yang cukup, konsentrasi kepemilikan asset, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan lingkungan yang mengguncangkan, konflik agraria yang meledak-ledak, dan – last but not least – ketidakmampuan rakyat pedesaan memiliki tabungan (domestic capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya; (ii) berbagai strategi dan kebijakan pembangunan agraria yang dijalankan secara nasional maupun lokal, termasuk yang yang diidentifikasi oleh Kepala BPN RI sebagai end-pipe policies dan colonial mode of development (Winoto, 2007); dan (iii) berbagai konfigurasi kekuatan politik lokal yang terbentuk akibat warisan sistem politik Orde Baru, transisi demokrasi di tingkat nasional maupun implementasi kebijakan desentralisasi-demokratik yang diterapkan semenjak tahun 2000, yang didalamnya termasuk kekuatan-kekuatan masyarakat sipil berjaringan secara nasional maupun transnasional, dan gerakan sosial yang berakar lokal.

Pengetahuan empiris tersebut, disertai dengan (i) pengetahuan teoritik yang mendalam mengenai debat-debat klasik dan kontemporer tentang masalah-masalah agraria dan agenda Reforma Agraria, dan (ii) pengetahuan pembanding mengenai bagaimana dan konteks Reforma Agraria dijalankan di berbagai negara lain, perlu ditempatkan dalam rangka membangun basis pengetahuan yang otoritatif tentang Reforma Agraria Indonesia. Saat ini karya-karya tulis yang bermutu mengenai seluk-beluk kondisi, politik, gerakan dan reforma agraria Indonesia masihlah sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untuk merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untuk Indonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka selain memperbanyak ragam kekuatan sosial-politik yang mengusung agenda Reforma Agraria, yang benar-benar diperlukan juga adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi agraria wilayah, bukan hanya yang bersifat aspek-aspek dari keadaan agraria saat ini, tapi juga disertai dengan menghubungkan keadaan agraria saat ini dengan proses pembentukannya dalam sejarah dan geografi yang khusus pula.. ***)

April 29, 2011

Jerit Kegemparan


oleh : Ir. Soekarno

            Soal jajahan adalah soal rugi atau untung ; soal ini bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban ; soal ini adalah soal mencari hidup, soal bussines.
            Semua teori-tori tentang soal-jajahan, baik yang mengatakan bahwa penjajahan itu terjadinya ialah oleh karena rakyat yang menjajah itu ingin melihat negri asing, maupun yang mengatakan bahwa rakyat pertuanan itu hanya ingin mendapat kemashuran saja, baik yang mengatakan bahwa rakyat pertuanan itu menjajah negri lain ialah oleh karena negrinya sendiri lantaran banyaknya penduduk hingga terlalu sesak, maupun yang mengatakan bahwa penjajahan itu diadakanlah ialah untuk menyebar kesopanan,- semua teori-teori itu tidak dapat mempertahankan diri terhadap kebenaran teori yang mengajarkan, soal mencari kehidupan.
            Tak kecil kerugian ekonomi inggris, bilamana mesir atau India dapat memerdekakan diri ; tak sedikitlah kerugian prancis dan amerika, bilamana indo-cina dan philipina bisa menjadi bebas ; tak ternilailah kerugian yang di derita Negri belanda, bilamana bendera Indonesia-merdeka bisa berkibar-kibar di tanah-air kita, sebagaimana Jhr. Dr. Sandberg mengatakan dengan ia punya kata-kata “indië verloren, rampspoed geboren” ; - tak terhinggalah bencana yang menimpa benua eropa, bilamana benua asia bisa menurunkan beban imperialisme asing dari pada pundaknya,- hal ini cukuplah dibuktikan oleh pujangga-pujangga, diplomat-diplomat, dan juru-juru pengarang eropa dan asia dengan secukup-cukupnya angka dan seteliti-telitinya hitungan. Negri jajahan adalah suatu syarat bagi hidupnya negri-negri pertuanan, suatu syarat yang untuk negri pertuanan yang kecil ada maha-besar dan maha-tinggi kepentingannya, dan karenanya harus dan mesti di pegang teguh-teguh, diikat erat-erat olehnya, jangan sampai terlepas.
            Karena itu, maka soal jajahan itupada hakekatnya bukan soal hak ; ia soal kekuasaan ; ia soal macht.
            Ukuran yang di pakai oleh fihak yang butuh akan pencaharian rezeki itu tentang baik atau jeleknya suatu keadaan dalam negri jajahannya, tentang “boleh” atau “tidak boleh”-nya sesuatu faham, sesuatu sikap, sesuatu tujuan, atau sesuatu gerakan, hanyalah ukuran kepentingannya kaum itu saja adanya. Semua keadaan dalam negri jajahan, yang bertentangan dengan kepentingannya fihak itu, yang merugikan akan kepentingan fihak itu, segeralah mendapatkan perlawanan dari padanya. Riwayat dunia jajahan penuhlah dengan contoh-contoh, dimana fihak itu kadang-kadang meninggalkan semua lapangan keadilan, menyalahi semua hukum-hukumnya hak, menghina semua rasa-kemanusiaan,  -bilamana kepentingannya terlanggar, dan usahanya mencari rezeki terganggu.
            Kita insyaf akan hal ini. Kita mengetahui bahwa bukan saja kaum komunis, yang mengobarkan udara pada bulan November 1926 dan januari 1927, yang mendapat perlawanan, bukan saja kaum pengikutnya Lenin dan Trotzky yang dituntut dan ditindas,-akan tetapi juga kita, kaum nasionalis Indonesia dan saudara-saudara  kita yang bernaung dibawah bendera Islam ; bukan saja kaum Bolshevik, - tetapi juga semua kaum, baik nasionalis, maupun islamis, maupun kaum yang berpaham apasaja, asal ingin dan berusaha buat datangnya Indonesia-Merdeka dengan selekas-lekasnya. Perlawanan pihak itu terhadap pada majunya pergerakan kita bukanlah perlawanan terhadap pada sesuatu “isme”, akan tetapi perlawanannya ialah dihadapkan pada semua usaha bangsa kita yang menuju kepada Indonesia-Merdeka dengan tidak diperdulikan lagi dasar apa, azaz apa, atau “isme” apa yang terletak dibawah usaha itu adanya.
            Kita insyaf akan hal ini sedari mulanya. Sebelum kaum komunis tersapu dari pergaulan umum, sebelum mereka itu di-Digul-kan, maka dimana-mana terdengarlah semboyan fihak sana yang berbunyi “lenyaplah komunisme”, akan tetapi sudah beratus-ratus, beribu-ribu kaum pengikutnya Lenin dibawa ke tengah-tengahnya rimba dan rawa papua, maka segeralah semboyan itu menjelma menjadi semboyan baru, semboyan “lenyaplah Pan Islamisme”, dan semboyan “lenyaplah Nasionalisme Indonesia”- semboyan mana yang sekarang sudah menjelma pula menjadi suatu jerit kegemparan, sebagaiman terbukti dengan bukunya professor Treub, buku yang bernama “het gist in indie”.
            Di dalam buku ini hanyalah jerit kegemparan yang terdengar. “indit jongste geshcrift van den voorzitter van den Ondernemeersraad wort allen alarm geslagen”, begitulah “Indische Volk” menulis. Treub hanyalah menjerit; ia hanyalah memukul kentongan. Ia tidak mencari sebab-sebabnya komunisme menjadi subur; ia tidak mencari sebab-sebabnya gerakan Pan-Islamisme bertambah-tambah pengikutnya, ia tidak mencari sebab-sebabnya faham kita, faham Nasionalisme Indonesia makin lama makin masuk kemana-mana; ia hanya menuntut penindasannya komunisme, islamisme, dan “Indonesisch nationalisme” saja. Ia tak mau ingat, bahwa ia sendirilah yang dengan ia punya aksi dalam tahun 1923, ikut menambah pahit dan getirnya hidupnya rakyat yang pergerakannya kini ia kantongi itu. Ia tak menulis sepatah kata atas bezuiniging, penghematan, yang melemparkan beribu-ribu manusia diatas jalan, memasukkan demit-kelaparan didalam ribuan rumah tangga. Ia tak menyebut-nyebutkan tambah beratnya belasting di atas pundaknya rakyat, pada saat yang pencarian rezeki ada segetir-getirnya. Ia tak mengucap-ngucapkan bagaimana hak bervergadering dibatasi atau dicabut, bagaimana berpuluh-puluh pemimpin pergerakan ditahan, dibui, atau dibuang, sehingga pergerakan itu menjadi lebih panas dan lebih sengit karenanya. Pendek kata. . . . ia tak menyebutkan sebab-sebabnya kini lautan pergerakan Indonesia ada mendidih; ia hanya memukul kentongan; ia hanya mengeluarkan jerit kegemparan saja, yang memang terhadap pada semua “isme”,- “isme” apapun juga-, yang mengandung azaz mencari kebebasan dan kemerdekaan dengan jalan yang lekas dan cepat, semuanya mendapat lagi bukti kenyataanya dengan jerit kegemparannya professor ini. Komunisme haruys di sapu, Islamisme dan Nasionalisme Indonesia juga harus disapu! Sebab “komunisme, Nasionalisme Indonesia, dan Pan Islamisme adalah bergandengan satu sama lain, dan mengisi satu sama lain,- dan semua aksi yang bermaksud mendatangkan kemerdekaan Indonesia harus ditindas, “kalau perlu dengan kekerasan”, “zo nodig met geweld”.
            Kita tersenyum. Sudahkah begitu hebatnya kegemparan treub dan fihaknya treub, sehingga pengajarannya riwayat, pengalaman riwayat jajahan atas penindasan suatu pergerakan rakyat met geweld, tiada lagi diindahkan lagi olehnya? Sudahkah begitu gemparnya kaum itu, melihat majunya nasionalisme Indonesia, sampai mereka juga memukul kentongan atas sikapnya setengah bupati, yang dikatakan “ lahirnya setia pada pemerintahan, tetapi dalam batinnya menyetujui pergerakan yang meliwati batas ini?” sudahkah begitu kagetnya kaum itu, sampai kaum islam hendak juga dilarang oleh Treub memenuhi sesuatu rukunnya, hendak dilarang pergi ke Mekkah, oleh karena hajz kesana adalah “ sudah menjadi sesuatu bahaya bagi pemerintahannya tiap-tiap negri Kristen”?
            Kita kaum nasionalis Indonesia, memandang jerit kegemparannya professor Treub itu, ketua dari perkumpulan kaum modal Belanda, sebagai suatu tanda. Jerit kegemparan ini adalah suatu symptom (gejala). Ia menandakan, bahwa memang benar-benar lawan kita ini merasa tanah bergoyang dibawah kakinya. Ia menandakan, bahwa haluan yang diambil oleh kita, kaum nasionalis Indonesia,  dan yang diambil oleh saudara-saudara kita, kaum Pan Islam, adalah haluan yang betul,  haluan yang karenanya harus kita teruskan. Selama kaum yang berhadapan dengan kita mencerca kita,- selama itu kita harus berjalan terus. Baru jikalau sebaliknya, kaum itu memuji dan membenarkan kita, maka datanglah saat kita berganti terjang dan berganti jalan.
            Sebab Treub sendiri sudah mengakuinya : perkara Pergerakan Indonesia adalah perkara mati-hidupnya kehidupan fihaknya, perkara yang ia katakana “het gaat om ons bestaan”. Ia, professor Mr. Treub, ketua kaum modal belanda, dan professor Ir. Klopper, pemimpin pabrik-pabrik mesin Thomassen di negri belanda, yang menyokong pula jerit kegemparannya Treub dengan kata-kata “het eenvoudigste instinct van zelfbehoud dringt ons om alles to doen, om de toestand in insulinde baas te blijven”, dua professor kaum modal belanda ini haruslah insyaf, bahwa kita kaum nasionalis Indonesia dan saudara-saudara kita, kaum Pan-Islam, sama bergerak ialah juga oleh dorongannya “het een voudigste instinct van zelfbehoud”, juga oleh karena “het gaat om ons bestaan”! sebagaimana kekalnya penjajahan di Indonesia ada suatu perkara keselamatan negri belanda, maka berhentinya penjajahan itu adalah pula suatu perkara keselamatan negri Indonesia, keselamatan rakyat Indonesia, keselamatan kita. Tertilik daripada pendirian pembelaan-diri, yakni dari pendirian zelfbehoud, maka fihak pertuanan adalah hak merintangi, melawan dan menuntut tindasan pergerakan kita ; akan tetapi tertilik daripada pendirian zelf behoud itu juga, maka kita mempunyai juga hak bergerak, hak berusaha mencari kebebasan. Hak mereka dalam hal ini adalah berhadap-hadapan, beradu dada dengan hak kita semua ; haknya reaksi adalah berhadap-hadapan dengan haknya aksi.
. . . .Dan soal berhadap-hadapannya hak dengan hak ini segeralah menjadi soal kekuasaan berhadap-hadapan dengan kekuasaan pula, macht berhadap-hadapan dengan macht.
            Karena itu, maka kita memandang jerit kegemparannya Treub  dan fihaknya Treub itu hanya sebagai sutu tanda saja. Kita tidak menyelidiki lebih jauh pantas atau tidaknya mereka mengeluarkan jerit kegemparan itu ; kita tidak membantah, dan kita tidak memprotes ; kita hanya mempelajarinya. Sebab, sebagai yang sudah kita tuliskan diatas ; Treub dan fihaknya Treub punya hak memusuhi kita ; het gaat om hun bestaan, sebagaimana pergerakan kita itu ialah buat keperluannya ons bestaan.
            Dengan mempelajari semua tanda-tanda, memperhatikan semua symptoom-symptoom, memperhatikan semua kekurangan-kekurangan yang tampak pada fihaknya lawan, maka dapatlah kita mengetahui bagian-bagian yang manakah daripada barisannya fihak lawan itu ada lembek, dan dapatlah dari kita dengan gampang mencari tempat-tempat pengapesannya si lawan itu, sehingga kita dengan banyak hasil bisa mengarahkan serangan kita pada tempat-tempat pengapesannya itu adanya. Akan tetapi sebaliknya, kita harus mempelajari kekuarangan-kekurangan sendiri, memperhatikan kesalahan-kesalahan sendiri, agar supaya kita bisa mengetahui bagian-bagian yang mana dalam kita punya barisan ada lembek, tempat-tempat yang mana dalam kita punya organisasi kurang teratur,- sehingga kita dengan gampang memperbaiki kekuatannya barisan kita itu ; membetulkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan didalam kita punya organisasi itu ; dan kalau perlu menyusun kembali organisasi kita itu menjadi susunan yang kuat dan sentausa.
            Treub dengan bukunya sudah memberi tanda itu. Ia menunjukkan pada kita dimana letaknya tempat-tempat pengapesan fihaknya ; ia menunjukkan, bahwa pergerakan kita, kaum nasionalis Indonesia, dan pergerakan saudara-saudara kita, kaum Islam, adalah benar menghawatirkan bagi kepentingannya, benar-benar terasa olehnya sebagai pengapesannya, oleh karena itu, maka sebagai yang kita tuliskan diatas, kita berjalan terus. . .
            Dalam pada itu, . . . apakah Treub dengan fihaknya Treub betul-betul  mempunyai sangkaan, bahwa pergerakan kita, yang sebagai suatu usaha bangsa kita mencari hidup lebih layak dan lebih sempurna, dengan kodratnya alam sudah timbul dari nyawanya bangsa dan rakyat kita, bisa padam atau dipadamkan? Apakah Treub dan fihaknya Treub bisa menunjukkan satu contoh dari riwayat-dunia, yang geraknya nyawa sesuatu bangsa, terutama nyawa bangsa yang mencari kemerdekaan, bisa mati atau dimatikan?
            Tapi memang sukarlah bagi kaum pertuanan mengambil sikap yang benar terhadap pada pergerakan yang dihadapinya. Pergerakan itu maju kalau tidak ditindas. . . pergerakan itu juga maju kalau ditindas.
            Memang begitulah tragiknya kaum pertuanan.

                                                                                                                “suluh Indonesia muda”, 1928

April 25, 2011

Posts filed under 'Political Marketing'

Membangun Bangsa Lewat Marketing Politik

 
  
 
Sejak konsep marketing diutarakan, Kotler di tahun 1972 sudah mengemukakan bahwa marketing berlaku baik pada sektor publik dan non-komersial. Cakupan dari marketing ini sangatlah luas. Diungkapkan oleh Firmanzah (2004) bahwa pertukaran yang terjadi tidak saja hanya pertukaran ekonomi, pertukaran ini juga dapat terjadi dalam konteks sistem sosial secara luas, tidak hanya terbatas pada perusahaan swasta, tetapi juga pada organisasi sosial non profit, museum, rumah sakit pemerintah dalam bentuk pertukaran seperti ide, norma, dan simbol. Dalam hal ini, konteks politik pun dalam mengaplikasikan konsep dan teori marketing.

Marketing Masa Sekarang
Ilmu marketing mengalami perkembangan dari jaman ke jaman untuk menemukan bentuknya. Saat tulisan ini dibuat (tahun 2008), mengambil definisi dari Hughes dan Dann (2006), marketing adalah suatu bentuk fungsi organisasi dan berbagai bentuk proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan menyampaikan nilai kepada konsumen dan mengelola hubungan dengan konsumen sehingga dapat menguntungkan organisasi dan stakeholder nya. Marketingdapat diaplikasikan kedalam berbagai bentuk organisasi, yang tidak hanya berorientasi kepada keuntungan ekonomi semata dan lebih menitikberatkan aktifitasnya kepada hubungan jangka panjang dengan konsumen dan stakeholder.

Politik dalam Pandangan Marketing
Politik adalah sesuatu yang abstrak, berdasarkan nilai, menawarkan harapan mengenai masa depan, visi dan janji yang dapat mempengaruhi kehidupan pemilihnya. O’Shaughnessy (2001) mengemukakan bahwa kepuasan dari proses konsumsi politik baru akan diperoleh dalam rentang waktu jangka panjang, dan erat hubungannya dengan ketidakpastian. Hal ini tercermin dari tidak berwujudnya konsumsi politik karena hasilnya tidak dapat langsung dinikmati oleh pemilih, tetapi akan di proses melalui mekanisme pembuatan kebijakan-kebijakan di lembaga pemerintahan.
Sebagai contoh, partai politik merupakan salah satu produk politik yang kompleks dan tidak berwujud. Kompleks karena partai politik yang mendapat kekuasaan untuk berkuasa adalah partai politik yang mayoritas dipilih dalam pemilu. Konsekuensinya adalah semua pemilih akan menikmati pilihan yang mayoritas dipilih oleh sebagian pemilih dalam pemilu.

Marketing Politik
Hughes (2006) menyatakan: ”In politics, the application of marketing centers on the analysis of needs centers on voters and citizens; the product becomes a multifaceted combination of the politician himself or herself, the politician’s image, and the platform the politician advocates, which is then promoted and delivered to the appropriate audience.” Di sini dapat diambil kesimpulan bahwamarketing politik sama dengan marketing pada umumnya yang berpusat pada kebutuhan pemilih. Kebutuhan pemilih yang menjadi pusat perhatian dalam membina hubungan jangka panjang antara partai politik dan pemilihnya. Dan untuk mengetahui kebutuhan pemilihnya ini, maka partai politik perlu melakukan riset untuk mengenali pemilihnya dalam konteks sebagai konsumen politik. Dengan demikian, bagi para politisi sangatlah penting untukberadaptasi dan mengaplikasikan konsep pemasaran ke dalam pengembangan kebijakan dan komunikasi yang dilakukannya(marketing politik) seiring perkembangan kebutuhan pemilih untuk dapat memberikan input dalam proses politik yang dilakukan dan kebutuhan pemilih untuk memperoleh kepuasan dari hasil pemilu yang dilaksanakan menyadarkan politisi akan pentingnya.
Marketing politik memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu deskriptif dan preskriptif (memuat aturan-aturan dasar). Dalam fungsi deskriptifnya, analis marketing politik menyediakan suatu struktur bisnis untuk menjalankan, memetakan, mengartikan dan memadatkan dinamika sebuah kampanye partai politik, menawarkan kemungkinan baru dalam memenangkan pemilihan umum. Sementara itu, dalam fungsi preskriptif, banyak ahli yang mengungkapkan (secara eksplisit maupun implisit), bahwa marketing politik adalah suatu hal yang harus dilakukan partai politik dan kandidat untuk memenangkan pemilihan umum. Marketing politik bukan hanya sebuah disiplin, melainkan juga sebuah rekomendasi (0’Shaughnessy, 2001).
Marketing politik juga menyediakan perangkat teknik dan metode marketing dalam dunia politik (Firmanzah, 2007). Tujuan dari perangkat dan metode ini adalah untuk memahami, menganalisis kebutuhan dan keinginan pemilih, dan membina hubungan dengan pemilihnya. Dari hubungan dengan pemilih ini, akan terbangun kepercayaan, dan selanjutnya akan diperoleh dukungan suara mereka (O’Shaughnessy 2001). Perlu diperhatikan disini, bahwa kemenangan suatu partai politik diperoleh dengan mendapatkan suara mayoritas pemilih dalam pemilu. Untuk memperoleh suara mayoritas ini, partai politik perlu menetapkan marketing politik sebagai strategi jangka panjang (konsep permanen) untuk membangun kepercayaan (Dean & Croft 2000) mayoritas pemilih pemilu. Kepercayaan mayoritas pemilih pemilu hanya akan diperoleh jika partai politik terus konsisten menetapkan bauran pemasaran yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pemilih yang disasar.

 Pro Kontra dalam Marketing Politik
Beberapa opini miring sempat dituduhkan ke marketing politik. Mengutip jurnal dari Richard (2004), sebagian praktisi politik mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai marketing politik, pemahaman emosionalitas dalam marketing politik pada umumnya dikonotasikan sebagai hal yang negatif seperti manipulasi. Selain itu, Wells (1995) menemukan praktisi yang berpendapat marketingpolitik menyepelekan peran politik sebagai bentuk perjuangan demokrasi kedalam isu mengenai karisma dalam politik. Sedangkan Egan (1999) menyoroti implikasi marketing politik dalam prakteknyaakan mengurangi esensi isu politik dan lebih fokus kepada slogan yang unik. Berdasarkan potensi ketakutan terhadap marketing politik dan emosinya, maka marketing politik perlu dicermati sebagai suatu metode yang emosional dan sensitif dengan amanah untuk meningkatkan dan memperkuat proses demokratisasi.
Praktisi politik juga perlu mengetahui nilai utama dari marketingpolitik, yaitu adanya prioritas untuk meningkatkan usaha membangun hubungan jangka panjang dan memromosikan partai politik dengan pemilihnya kedalam proses komunikasi yang konstruktif (O’Cass, 1996). Kontribusi positif lain peran marketingkedalam politik adalah melalui caranya dalam mengemas pesan politik dalam bentuk advertising (Rothschild, 1978), membantu memetakan posisi sebuah partai politik diantara partai politik lainnya (Butler dan Collins, 1996), membantu mensegmentasikan pemilih berdasarkan geografis, demografi, perilaku dan psikografi (Smith dan Hirst, 2001). Kontribusi marketing dalam politik juga termasuk pemilihan media dengan mempertimbangkan kondisi sosio budaya suatu negara dan analisa latar belakang target sasarannya.
Skeptisme utama dari marketing politik adalah karena aplikasimarketing kedalam interaksi sistem sosial, dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial dan menghancurkan reputasi ilmumarketing (Laczniak dan Miche, 1979). Karena sistem sosial merupakan spesialisasi fungsi, maka memasukkan marketing diluar sistem tradisional seperti hukum, politik, matematika, sosiologi, theologi dan psikologi sosial akan meruntuhkan spesialisasi fungsi sosial dan nantinya akan menghancurkan struktur sosial yang ada (Laczniak dan Miche, 1979). Skeptisme ini lebih lanjut lagi dapat mengarah kepada amerikanisasi kehidupan politik (Baines et al, 2001). Amerikanisasi yang dinyatakan disini adalah pengaruh dari berbagai media dalam membentuk persepsi publik sehingga masyarakat makin dijauhkan dengan ikatan ideologi. Masyarakat cenderung menerima pencitraan politik dibandingkan isu politik. Hal ini menyebabkan isu politik yang berkaitan erat dengan ideologi tidak diterima oleh publik, padahal ini merupakan nilai simbol yang menghubungkan individu dengan struktur sosialnya, dan bukan sesuatu yang diperjualbelikan.
Masalah lain yang menjadi perdebatan dalam marketing politik adalah skeptisme etika dan moral (Lazcniak et al., 1979; Lock dan Harris, 1996) dalam hubungannya dengan informasi yang disampaikan kepada publik. Seperti yang ada pada marketingtradisional, informasi yang diberikan kepada konsumen adalah informasi yang menguntungkan perusahaan dan organisasinya saja. Jika pemahaman yang dangkal mengenai konsep pemasaran seperti diatas terjadi dalam aplikasi marketing politik, maka pemilih hanya akan menerima informasi yang mempengaruhinya berperilaku positif kepada partai politik melalui iklan atau bahkan propaganda (Bauer et al, 1996). Padahal, ada juga informasi yang tidak menguntungkan partai politik, tapi pesan ini tidak disampaikan ke publik. Walaupun hal ini sulit terjadi di dalam era kebebasan informasi, namun tetap terbuka kemungkinan adanya konspirasi sistematik antara media dan partai politik yang menjadi klien media massa tersebut.

Back to Basic: Marketing Politik Hanyalah Alat

Pro kontra peran marketing dalam politik memang masih akan menjadi pergunjingan dalam tataran akademis maupun praktis. Buat saya, pergunjingan ini akan terus berlangsung jika semua yang terlibat tidak melihat apakah marketing politik itu sendiri. Dalam usahanya memenangkan pemilihan umum, partai politik dapat menggunakan berbagai metode dalam mencapainya. Salah satu metode atau alat yang ditawarkan adalah marketing politik.
Alat adalah suatu benda atau perangkat yang dapat digunakan menjadi apa saja sebagaimana yang diinginkan oleh pemakainya. Misalkan saja pisau yang bisa digunakan sebagai alat pembunuh oleh psikopat dan sebagai pemotong daging rendang oleh seorang Ibu yang ingin memberikan gizi baik pada anak-anaknya. Begitu pula dengan marketing politik yang dengan aplikasi teori marketing dapat “diselewengkan” dengan cara apapun untuk mememangkan pemilu, atau bisa juga sebagai cara untuk membangun bangsa dengan mengetahui dan mewujudkan apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan dan keinginan rakyat Indonesia.

Jadikan Marketing Politik Alat Pembangun Bangsa
Tujuan dasar dari suatu perpolitikan suatu negara atau bangsa haruslah bermuara pada pembangunan menuju kesejahteraan bangsa itu sendiri yang seharusnya tercermin dari ideologi, visi dan misi suatu partai politik. Kesejahteraan merupakan kebutuhan seluruh rakyat yang dapat diterjemahkan dalam berbagai bentuk. Para praktisi politik seharusnya dapat menerjemahkan kebutuhan dan keinginan rakyat ini menjadi suatu produk-produk politik yang dapat memberikan manfaat untuk memuaskan kepentingan rakyat.
Semua ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat-perangkat dalam teori marketing yang telah ada, salah satunya dengan mengetahui people insight sehingga dapat menentukan dengan tepat apa yang dapat memberikan kesejahteraan (kepuasan) rakyat. Dengan beragamnya suku bangsa di Indonesia, people insight ini dapat beraneka ragam. Misalnya sebagian rakyat membutuhkan swasembada pangan, sedang sebagian yang lain menginginkan tersedianya pendidikan gratis. Bayangkan jika semua partai politik dapat memberikan setiap people insight ini. Kesejahteraan rakyat akan tercapai lewat politik yang membangun ini. Sebagaimana konsep marketing produk di mana produk yang diberikan dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan, marketing politik pun dapat memberikan hal yang sama bagi seluruh rakyat.

April 03, 2011

TERM OF REFERENCE (TOR) BADAN HUKUM PENDIDIKAN

PERSPEKTIF HUKUM
(Membedah Konsep Badan Hukum Pendidikan)


Setiap warga negara berhak menerima pendidikan (pasal 31(1))

Pendidikan termasuk salah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh pemerintah terhadap warga negaranya. Pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dapat secara langsung dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat bangsa tersebut, sebagai akibat dari adanya interaksi yang terjalin diantara masyarakatnya

Sebagai konsekuensi dari dilakukannya ratifikasi hasil pertemuan WTO (World Trade Organization) yang terangkum dalam GATS (General Agreement On Trade Service) oleh pemerintah Indonesia yaitu adanya bentuk komersialisasi pendidikan. Pemerintah Indonesia telah membuat tindak lanjut dari ratifikasi tersebut berupa Rancangan Undang-Undang  mengenai Badan Hukum Pendidikan. Tema yang menjadi poros dari RUU tersebut adalah komersialisasi pendidikan di Indonesia yang berarti lepasnya tanggung jawab Negara dalam membiayai pendidikan.

Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), biaya untuk subsidi perguruan tinggi seringkali mengalahkan alokasi untuk pendidikan dasar. Padahal yang terjadi adalah pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh segelintir golongan menengah keatas.

Meskipun alokasi yang dianggarkan untuk perguruan tinggi tersebut lebih besar, tapi dalam prakteknya ternyata tidak juga dapat menjawab persoalan tingginya biaya kuliah. Hingga akhirnya secara perlahan pemerintah menghentikan subsidi untuk mereka sehingga terjadilah beberapa perguruan tinggi diubah statusnya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) atau lebih dikenal dengan istilah otonomi kampus. Perubahan status ini ditetapkan dalam PP 60/1999. Inti dari PP tersebut adalah pelimpahan biaya perguruan tinggi dari negara ke Universitas.

Badan Hukum Pendidikan (BHP) mengarah pada konsep liberalisasi, privatisasi, serta komersialisasi pendidikan, dimana setiap penyelenggaraan pendidikan diberikan otonomi dalam pengelolaan pendidikan. Artinya RUU BHP secara jelas menegaskan bahwa pelimpahan biaya untuk menyelenggarakan pendidikan yang diberikan dari Negara kepada Universitas, menjadikan negara tidak lagi mengontrol biaya kuliah, dan akibatnya beban pendidikan benar-benar telah beralih ke mahasiswa dan masyarakat yang telah mengelola sendiri kurikulum hingga pada soal pendanaan.

Adanya konsep BHP yang muncul ke permukaan merupakan hasil mandat dari  pasal 53 Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dimana UU ini menjelaskan bahwa pendidikan yang diselenggarakan dapat dengan mengusahakan sendiri sumber pendanaan untuk menunjang kegiatannya karena berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang bersifat nirlaba.
 
Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos Onlinefreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates