Desember 03, 2012

MASYARAKAT SIPIL GLOBAL



            Istilah civil society, yang kini sering diterjemahkan dengan masyarakat kewargaan atau masyarakat madani tampaknya semakin mendapat tempat didalam wacana politik. Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat (Hikam, 1996: 1). Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan, menurut Manfred Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, Cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain (Hikam, 1996: 1). Jadi istilah-istilah seperti koinonia politike, societas civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state, dan stato (Hikam, 1996: 1).
Maka ketika JJ Rousseau menggunakan istilah societes civile, dipahami sebagai negara yang mana salah satu fungsinya adalah menjamin hak milik, kehidupan, dan kebebasan para anggotanya. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat Pencerahan (Enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut. Dalam perkembangannya, civil society pernah dipahami secara radikal oleh para pemikir politik yakni dengan menekankan aspek kemandirian dan perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga menjadi antitesis dari state (Hikam, 1996: 2).
Pemahaman seperti ini mengundang reaksi para pemikir seperti Hegel yang segera mengajukan tesis bahwa civil society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol (Hikam, 1996: 2). Civil society justru memerlukan berbagai macam aturan dan pembatasan-pembatasan serta penyatuan dengan negara lewat kontrol hukum, administratif dan politik (Hikam, 1996: 2). Pandangan Hegel tentang civil society, yang disamakan dengan Buergerliche Gesellschaft, belakangan mendapat dukungan kuat, termasuk dari Karl Marx (Hikam, 1996: 2). Namun konsepsi Hegelian dan Marxian tentang civil society yang bercorak sosiologis itu menimbulkan persoalan, karena mengabaikan dimensi kemandirian yang menjadi intinya (Hikam, 1996: 2). Ini disebabkan, terutama pada Hegel, posisi negara dianggap sebagai ukuran terakhir dan pemilik ide universal. Jika civil society kehilangan dimensi politiknya dan akan terus tergantung kepada manipulasi dan intervensi negara (Hikam, 1996: 2).
Konsep Hegelian yang memberi posisi unggul terhadap negara ini kemudian dikritik oleh pemikir-pemikir modern seperti Robert Mohl, JS Mills, Anne de Stael, dan Alexis de Tocqueville. Terutama yang belakangan ini, sepakat untuk mengembalikan dimensi kemandirian dan pluralitas dalam civil society. Bagi de Tocqueville, kekuatan politik dan civil society-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan (Hikam, 1996: 2).
Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik didalam civil society, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara (Hikam, 1996: 2). Diskusi-diskusi mutakhir tentang civil society pada umumnya berporos pada pemahaman Hegelian-Marxian di satu pihak, dan de Tocqueville di pihak lain (Hikam, 1996: 2). Disamping itu, perlu dicatat juga pengaruh pemikiran Antonio Gramsci (Hikam, 1996: 2). Walaupun pemikir Itali ini seorang penganut Marx, namun menolak determinisme ekonomi Marx sehingga konsepnya tentang civil society sama sekali berbeda dengan mainstream mortasi. Jika pada Marx, civil society diletakkan pada dataran basis material dari hubungan produksi kapitalis oleh karenanya, disamakan dengan kelas borjuasi, maka Gramsci melihatnya sebagai super struktur dimana proses perebutan posisi hegemonik terjadi. Pemahaman Gramsci memberi tekanan penting pada cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik (Hikam, 1996: 3).
Gramsci, dengan demikian, melihat adanya sifat kemandirian dan politis dari civil society, kendatipun pada instansi terakhir juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi). Pengertian civil society yang penulis pergunakan disini bersifat eklektik, walaupun acuan utamanya adalah pengertian yang dipergunakan oleh de Tocqueville (Hikam, 1996: 3). Civil society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi madiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap didalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi (Hikam, 1996: 3).
            Masyarakat sipil global bereaksi terhadap globalisasi. Bereaksi terhadap kapitalisme global. Pendukungnya seperti rejectionists, reformis, dan lain-lain. Global civil society merupakan konsep yang baru, batasannya tidak jelas, melangkahi pengertian tentang negara-bangsa dan dapat diartikan sebagai pilihan. Menurut Hegel, masyarakat sipil merupakan sesuatu yang terpisah dari negara. Menurut Ferguson, civil society merupakan bagian dari bagaimana membangun negara-bangsa. Global civil society merupakan “penyeimbang” untuk globalisasi. Global civil society juga merupakan aspirasi yang normatif. Nuansa global di masayarakat sipil global bukan berarti kemudian harus ada negara di tingkat global.
            Menurut penulis, mendasari penjelasan di atas mengenai masyarakat sipil global merupakan penyadaran bahwa being global merupakan hal yang berbeda, lebih dari sekadar peningkatan dalam skala tugas nasional. Ketidakhadiran sebuah international legal framework, pesan-pesan yang tercampur aduk mengenai ketergantungan sumber daya, dan isu-isu mengenai demokrasi internal yang belum terselesaikan, dan pertanggungjawaban kepada multiple stakeholders cepat atau lambat akan memotivasi masyarakat sipil global untuk mencari bentuk-bentuk alternatif pada level global. Dengan kata lain, karena menjadi global merupakan hal yang baru dan tidak pasti, masyarakat sipil global harus terus melakukan eksperimen dengan berbagai macam bentuk organisasi dan menjelajahi model-model yang berbeda dalam hal pemerintahan, pertanggunggugatan, pengambilan keputusan, serta pembangkitan dan distribusi sumber daya.
 
Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos Onlinefreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates