Istilah
civil society, yang kini sering diterjemahkan dengan masyarakat
kewargaan atau masyarakat madani tampaknya semakin mendapat tempat didalam
wacana politik. Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari
proses sejarah masyarakat Barat (Hikam, 1996: 1). Akar perkembangannya dapat
dirunut mulai Cicero dan bahkan, menurut Manfred Riedel, lebih ke belakang
sampai Aristoteles. Yang jelas, Cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes
civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18,
pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state),
yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain
(Hikam, 1996: 1). Jadi istilah-istilah seperti koinonia politike, societas
civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, civil
society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis,
civitas, etat, staat, state, dan stato (Hikam,
1996: 1).
Maka
ketika JJ Rousseau menggunakan istilah societes civile, dipahami
sebagai negara yang mana salah satu fungsinya adalah menjamin hak milik,
kehidupan, dan kebebasan para anggotanya. Negara dan civil society
kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses
pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur
politik di Eropa sebagai akibat Pencerahan (Enlightenment) dan
modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong
tergusurnya rezim-rezim absolut. Dalam perkembangannya, civil society
pernah dipahami secara radikal oleh para pemikir politik yakni dengan
menekankan aspek kemandirian dan perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga
menjadi antitesis dari state (Hikam, 1996: 2).
Pemahaman
seperti ini mengundang reaksi para pemikir seperti Hegel yang segera mengajukan
tesis bahwa civil society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol
(Hikam, 1996: 2). Civil society justru memerlukan berbagai macam
aturan dan pembatasan-pembatasan serta penyatuan dengan negara lewat kontrol
hukum, administratif dan politik (Hikam, 1996: 2). Pandangan Hegel tentang civil
society, yang disamakan dengan Buergerliche Gesellschaft,
belakangan mendapat dukungan kuat, termasuk dari Karl Marx (Hikam, 1996: 2).
Namun konsepsi Hegelian dan Marxian tentang civil society yang
bercorak sosiologis itu menimbulkan persoalan, karena mengabaikan dimensi
kemandirian yang menjadi intinya (Hikam, 1996: 2). Ini disebabkan, terutama
pada Hegel, posisi negara dianggap sebagai ukuran terakhir dan pemilik ide universal.
Jika civil society kehilangan dimensi politiknya dan akan terus
tergantung kepada manipulasi dan intervensi negara (Hikam, 1996: 2).
Konsep
Hegelian yang memberi posisi unggul terhadap negara ini kemudian dikritik oleh
pemikir-pemikir modern seperti Robert Mohl, JS Mills, Anne de Stael, dan Alexis
de Tocqueville. Terutama yang belakangan ini, sepakat untuk mengembalikan
dimensi kemandirian dan pluralitas dalam civil society. Bagi de
Tocqueville, kekuatan politik dan civil society-lah yang menjadikan
demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan (Hikam, 1996: 2).
Dengan terwujudnya
pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik didalam civil society,
maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara (Hikam,
1996: 2). Diskusi-diskusi mutakhir tentang civil society pada umumnya
berporos pada pemahaman Hegelian-Marxian di satu pihak, dan de Tocqueville di
pihak lain (Hikam, 1996: 2). Disamping itu, perlu dicatat juga pengaruh
pemikiran Antonio Gramsci (Hikam, 1996: 2). Walaupun pemikir Itali ini seorang
penganut Marx, namun menolak determinisme ekonomi Marx sehingga konsepnya
tentang civil society sama sekali berbeda dengan mainstream
mortasi. Jika pada Marx, civil society diletakkan pada dataran basis
material dari hubungan produksi kapitalis oleh karenanya, disamakan dengan
kelas borjuasi, maka Gramsci melihatnya sebagai super struktur dimana proses
perebutan posisi hegemonik terjadi. Pemahaman Gramsci memberi tekanan penting
pada cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial dan
politik (Hikam, 1996: 3).
Gramsci,
dengan demikian, melihat adanya sifat kemandirian dan politis dari civil
society, kendatipun pada instansi terakhir juga amat dipengaruhi oleh
basis material (ekonomi). Pengertian civil society yang penulis
pergunakan disini bersifat eklektik, walaupun acuan utamanya adalah pengertian
yang dipergunakan oleh de Tocqueville (Hikam, 1996: 3). Civil society
dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi
dan bercirikan, antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating),
dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan
dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya. Sebagai sebuah ruang politik, civil society
adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi
madiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap
didalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi (Hikam, 1996: 3).
Masyarakat
sipil global bereaksi terhadap globalisasi. Bereaksi terhadap kapitalisme
global. Pendukungnya seperti rejectionists, reformis, dan lain-lain. Global
civil society merupakan konsep yang baru, batasannya tidak jelas,
melangkahi pengertian tentang negara-bangsa dan dapat diartikan sebagai
pilihan. Menurut Hegel, masyarakat sipil merupakan sesuatu yang terpisah dari
negara. Menurut Ferguson, civil society merupakan bagian dari
bagaimana membangun negara-bangsa. Global civil society merupakan
“penyeimbang” untuk globalisasi. Global civil society juga merupakan
aspirasi yang normatif. Nuansa global di masayarakat sipil global bukan berarti
kemudian harus ada negara di tingkat global.
Menurut penulis, mendasari penjelasan di atas mengenai masyarakat sipil global
merupakan penyadaran bahwa being global merupakan hal yang berbeda, lebih
dari sekadar peningkatan dalam skala tugas nasional. Ketidakhadiran sebuah international
legal framework, pesan-pesan yang tercampur aduk mengenai ketergantungan
sumber daya, dan isu-isu mengenai demokrasi internal yang belum terselesaikan,
dan pertanggungjawaban kepada multiple stakeholders cepat atau lambat
akan memotivasi masyarakat sipil global untuk mencari bentuk-bentuk alternatif
pada level global. Dengan kata lain, karena menjadi global merupakan hal yang
baru dan tidak pasti, masyarakat sipil global harus terus melakukan eksperimen
dengan berbagai macam bentuk organisasi dan menjelajahi model-model yang
berbeda dalam hal pemerintahan, pertanggunggugatan, pengambilan keputusan,
serta pembangkitan dan distribusi sumber daya.